Diriwayatkan,
bahwa tatkala mereka telah berpaling dari hadapan Nabi SAW, mereka lalu kembali
menghadap kepada Al-'Aaqib, penasehat mereka yang tertinggi, lalu mereka meminta
pendapat dan persetujuannya.
Kata mereka, "Bagaimana pendapatmu tentang bermubahalah dengan Muhammad, ya
'Abdal Masih ?".
Kata
Al-'Aaqib, "Demi Allah, wahai orang-orang Nashrani, sesungguhnya kamu telah
mengetahui bahwa Muhammad itu seorang Nabi yang diutus, dan sesungguhnya telah
datang kepada kamu keterangan yang jelas dari teman-temanmu. Sesungguhnya tidak
ada suatu kaum yang saling melaknat (bermubahalah) dengan seorang Nabi,
melainkan mereka pasti hancur binasa, tidak akan ada yang tertinggal dan tidak
ada keturunan mereka, dan sungguh kamu tidak akan menang selama-lamanya jika
kamu mengerjakan mubahalah dengan dia. Maka jika kamu menolak bermubahalah,
lantaran kecintaan kepada agamamu dan pada temanmu, maka hendaklah kamu meminta
diri meninggalkan orang itu (Nabi SAW), kemudian kembalilah kamu ke
negerimu". Demikianlah nasehat dan peringatan Al-'Aaqib
kepada segenap pengikutnya.
Kemudian
mereka datang lagi menghadap Nabi SAW, lalu berkata, "Ya Abal Qasim,
sesungguhnya kami berpendapat dan memutuskan, bahwa kami jangan sampai
bermubahalah dengan kamu, dan kami akan meninggalkan kamu atas agamamu, dan kami
akan kembali mengikut agama kami sebagaimana biasa.
Sekalipun demikian, namun kami memohon kepadamu sudilah kiranya kamu mengutus
seseorang dari shahabatmu yang kamu ridlai dan kamu percaya untuk kami angkat
menjadi hakim di qabilah kami dalam segala urusan mengenai harta yang kami
perselisihkan dan kami pertengkarkan dan yang sering terjadi dalam kalangan
kami. Karena sesungguhnya bagi kami, kamu adalah suatu kepuasan".
[Dari riwayat ini menunjukkan, bahwa kaum Nashrani Najran tidak berani
menghadapi tantangan bermubahalah dari Nabi SAW. Dengan demikian, jelaslah
mereka itu mengerti akan kebenaran dakwah Nabi dan
menginsyafi akan kedustaan mereka sendiri. Sekalipun demikian, mereka telah
insyaf dan tertarik pula oleh dasar-dasar keadilan hukum-hukum yang dibawa oleh
Nabi SAW, sehingga mereka mengajukan permohonan kepada beliau, supaya beliau
mengirim seorang dari shahabat yang dipercayainya untuk diangkat menjadi hakim
di qabilah mereka untuk memberi keputusan mengenai harta benda yang mereka
perselisihkan].
Permohonan
mereka itu diperkenankan oleh Nabi SAW, kemudian pada keesokan harinya Nabi SAW
memutuskan Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah supaya berangkat bersama-sama kaum
Nashrani Najran ke qabilah mereka untuk menjadi hakim di
sana .
Nabi SAW bersabda :
اُخْرُجْ مَعَهُمْ فَاقْضِ بَيْنَهُمْ بِاْلحَقِّ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا
فِيْهِ
Berangkatlah
kamu bersama mereka, maka hukumliah antara mereka itu dengan kebenaran tentang
segala sesuatu yang diperselisihkan oleh mereka.
Abu
'Ubaidah lalu berangkat bersama-sama mereka.
[Riwayat yang tersebut ini menurut sebagaimana yang
termaktub dalam sirah Ibnu Hisyam. Dan riwayat mubahalah sebagai
yang tersebut itu diriwayatkan juga oleh para imam ahli haditts, antara lain
oleh Bukhari, dan Muslim, tetapi dengan rangkaian kata yang berbeda, dan
diantara para ulama ahli tafsir yang meriwayatkannya, ialah Ibnu Jarir
Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya].
Diriwayatkan,
bahwa Abu Haritsah bin 'Alqamah, salah seorang pendeta dan ulama Nashrani
Najran, yang selalu dimuliakan oleh kaum pengikutnya, tatkala datang untuk
menghadap Nabi SAW ia duduk diatas bighalnya sambil menghadapkan mukanya kepada
Nabi SAW, sedang di sampingnya duduklah salah seorang sudaranya yang bernama
Kuuz bin 'Alqamah. Dikala itu tergelincirlah bighal yang sedang dikendarainya,
lalu berkatalah Kuuz, "Celakalah yang lebih jauh
!". (Yang dikehendaki dengan perkataan yang
sedemikian itu ialah Nabi SAW). Maka Abu Haritsah berkata kepada
saudaranya tadi, "Bahkan kamulah yang celaka
!".
Kuuz
bertanya, "Mengapa demikian, wahai saudaraku
?".
Jawab
Abu Haritsah, "Demi Allah, sesungguhnya dia itu Nabi yang kita nanti-nantikan
kedatangannya".
Lalu
Kuuz berkata, "Kalau demikian, apa yang merintangi kamu mempercayai dan
mengikut kepadanya, padahal kamu telah mengerti yang demikian itu ?".
Abu
Haritsah berkata, "Yang merintangi saya mempercayai kepadanya, ialah
kehormatan dan kebesaran yang telah diberikan oleh kaum pengikut saya kepada
saya selama ini, mereka itu enggan dan tidak mau mengikut kepada Nabi
itu.
Oleh sebab itu, jika saya mengikut dia, tentulah segala kehormatan dan kebesaran
saya sebagaimana yang telah kamu ketahui dari mereka akan mereka
cabut".
Dari
riwayat ini jelaslah bahwa pendeta Nashrani dari Najran yang senantiasa
dihormati dan dimuliakan oleh para pengikutnya bahkan yang berpangkat raja
sekalipun, dikala itu sudah mengerti bahwa Nabi SAW itu benar-benar seorang Nabi
yang diutus oleh Allah.
Adapun yang menyebabkan ia tidak mau percaya dan tidak bersedia untuk
membenarkan kebenaran Nabi SAW itu dengan tegas telah dinyatakan sendiri, karena
kedudukan dan kebesaran yang telah diperolehnya dari kaum pengikutnya, selama ia
menjabat selaku pendeta mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar